Klaim JKN Dengan Kelengkapan Rekam Medik

Rumah sakit sebagai salah satu pendukung sistem kesehatan sebagai sarana pelayanan kesehatan perlu terus meningkatkan mutu pelayanannya  dalam semua bidang untuk mengikuti perkembangan yang ada. Mutu suatu tempat pelayanan kesehatan tidak hanya diukur dari kemampuan medis dan paramedis, kelengkapan fasilitas kesehatan tetapi juga dapat dilihat dari kelengkapan administrasinya.

Terkait dengan kelengkapan administrasi dalam suatu unit pelayanan kesehatan, pada buku Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan menyebutkan bahwa,”di rumah sakit maupun di unit-unit pelayanan kesehatan, dikenal tiga sumber data yaitu berkas administrasi, hasil pendataan identitaspasien dan rekam medis pasien”.

"Rekam medis merupakan sarana pendokumentasian data atau informasi utama di sarana pelayanan kesehatan, berisi tentang kondisi keadaan pasien, tetapi jika dikaji lebih mendalam rekam medis mempunyai makna yang lebih komplek tidak hanya catatan biasa, karena didalam catatan tersebut tercermin segala informasi yang menyangkut seorang pasien." 

Salah satu isi dalam berkas rekam medis yaitu data diagnosis dan tindakan yang diberikan kepada pasien. Salah satu tujuan dari rekam medik adalah pembiyaan rumah sakit, dimana saat ini yang berkembang adalah sistem pembiayaan secara retrospektif atau pembayaran dibelakang. DRG adalah salah satu pembiayaan  secararetrospektif yang pembayarannya berdasarkan dignosis.

Rumah sakit yang bekerjasama dengan pemerintah,pembebanan biaya pengobatan kepada pasien ditetapkan dan diatur oleh pemerintah, sehingga pihak pemberi pelayanan kesehatan tidak bisa dengan sewenang-wenang menentukan biaya pengobatan pasien.

Hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional(JKN). Di dalam Permenkes No. 02.02/Menkes/095/I/2010 dijelaskan Jaminan Kesehatan Nasional adalah suatu penyelenggaraan jaminan kesehatan berskala nasional yang pembiayaan, kepesertaan, pelayanan kesehatan, badan penyelenggara dan pengorganisasiannya ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu aturan JKN yang tertuang pada Peraturan Presiden No 12 tahun 2013 pasal 39 ayat 3, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melakukan pembayaran kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s). Dalam petunjuk teknis penerapan JKN, CBG’s (Case Based Groups)  adalah salah satu sistem casemix yaitu pengelompokan beberapa penyakit yang mempunyai gejala atau ciri yang sama serta pemakaian sumber daya (biaya perawatan) yang sama dan prosedur atau tindakan pelayanan di suatu rumah sakit yang dikaitkan dengan pembiayaan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan terhadap pasien di fasilitas kesehatan.

Sistem Case-Mix merupakan suatu sistem pengelompokkan pasien berdasarkan kemiripan karakteristik klinis dan homogenitas sumber daya yang digunakan, dimana sistem ini dinilai mampu mengestimasi untuk menyediakan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien secara efektif dan efisien. Sistem ini akan menghindari penggunaan alat kedokteran canggih secara berlebihan, serta pemberian obat-obat yang tidak perlu.

Dalam INA-CBG’s dilakukan pengelompokan-pengelompokan. Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD-9-CM). Mengkombinasikan ribuan kode diagnosis dan prosedur tersebut, tidak mungkin dilakukan secara manual. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat lunak yang disebut grouper. Grouper ini menggabungkan sekitar 23.000 kode kedalam banyak kelompok atau group yang terdiri dari 23 Major Diagnostic Category (MDC), terdiri pula dari 1077 kode INA-DRG yang terbagi menjadi 789 kode untuk rawat inap dan 288 kode untuk rawat jalan. Setelah dilakukan grouper akan keluar tarif dari masing-masing kelompok.

Dalam penetuan tarif pada program CBG’s beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kelengkapan berkas Rekam Medik pasien terutama :

1. Diagnosis

Diagnosis ada 2 yaitu diagnosis utama dan diagnosis sekunder. Diagnosis utama adalah diagnosis akhir atau final yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau hari rawatan paling lama. Ciri diagnosis utama ditetapkan pada akhir perawatan pasien, memiliki tanggung jawab utama untuk pasien menerima segala tindakan rawatan atau berbagai bentuk tes pemeriksaan, jika lebih dari satu diagnosis dipilih salah satu diagnosis yang paling banyak menggunakan resources (SDM, bahan pakai habis, peralatan medik, tes pemeriksaan dan lain-lain) dan jika tidak ada diagnosis yang bisa dijadikan diagnosis utama maka symptoms, abnormal finding or problem can be selected”.

Diagnosis sekunder atau tambahan adalah diagnosis selain dari diagnosis utama yang sudah ada sebelum pasien dirawat di rumah sakit dan muncul sebagai akibat dari tindakan penatalaksanaan rawatan pasien selama di rumah sakit. Diagnosis sekunde ada komplikasi adalah diagnosis yang muncul setelah pasien berada  di rumah sakit dan ko-morbiditi adalah diagnosis lain yang sudah ada sebelum masuk rumah sakit”.

2. Tindakan

Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Dalam pemberian tindakan ini harus ditentukan tindakan utama dan tindakan sekunder.

Tindakan utama adalah prosedur tindakan yang paling banyak menghabiskan sumber daya atau hari rawatan paling lama dan biasanya berhubungan erat dengan diagnosa utama. "Prosedur sekunder adalah seluruh signifikan prosedur tindakan yang dijalankan pada pasien rawat inap maupun rawat jalan, membutuhkan staf khusus atau dikerjakan oleh staf terlatih dan berpengalaman”.

3. Penentuan Kode Diagnosis dan Kode Tindakan

Pemberian Kode adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Kecepatan dan ketepatan pemberian kode dari suatu diagnosis sangat tergantung kepada pelaksana yang menangani berkas rekam medis tersebut yaitu :

a.         Tenaga medis dalam menetapkan diagnosis

b.        Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode

c.         Tenaga kesehatan lainnya

Penetapan diagnosis seorang pasien merupakan kewajiban dan tanggung jawab dokter (tenaga medis) yang terkait tidak boleh diubah oleh karenanya harus diagnosis yang ada dalam rekam medis diisi dengan lengkap dan jelas sesuai dengan arahan pada buku ICD-10. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga medis. Oleh karennya untuk hal yang kurang jelas atau tidak lengkap, sebelum kode ditetapkan, komunikasikan terlebih dahulu pada dokter yang membuat diagnosis tersebut.

Untuk lebih jelasnya akan ditampilkan contoh sebagai berikut :

1. Pasien dengan kasus serangan asma di Unit Gawat Darurat, dimana pasien mendapat penangan tindakan nebuliser, tetapi dalam berkas rekam medis tidak dicantumkan tindakan hanya ditulis pada obat saja. Disini seorang rekam medis tidak bisa mengokode tindakan nebuliser. Karena kode tindakan tidak berisi sehingga akan berbeda hasilnya. Hasil dari grouper yaitu :

2. Pasien di ruang rawat inap dengan diagnosis DM DF. Pada kasus ini seharusnya ditentukan DM type apa, ada tidaknya dignosis sekundernya. Ini akan membedakan harga misalnya bisa saja pasien ada riwayat HT.

3. Yang paling sering di unit gawat darurat adalah kasus injury yang tidak dilengkapi lokasi lukanya. Misal pasien dengan kasus gigitan anjing hanya ditulis vulnus marsum canis. Padahal akan berbeda kode apabila luka yang ada adalah luka terbuka atau luka permukaan.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa kelengkapan Rekam Medik akan sangat menetukan besar klaim yang didapatkan oleh pihak rumah sakit. Buatlah rekam medik yang lengkap dan dapat dibaca sehingga tidak membuat keraguan dalam penentuan kode diagnosis dan kode tindakan. Semakin lengkap rekam medis akan membuat pengklaiman benar sehingga tidak ada fraud yaitu up-coding maupun down-coding yang akan merugikan salah satu pihak.